Media adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia di zaman mutakhir seperti saat ini. Kebutuhan akan media sangat sentral dalam berbagai kepentingan seperti mencari informasi, hiburan, komunikasi, dan bertukar pandangan. Media adalah sarana untuk memenuhi beragam tuntutan umat yang erat kaitannya dengan penyebaran informasi dan kondisi yang terjadi di dalam dan luar negeri dengan instan. Satu fenomena saja dapat tersiar dengan cepat ke segala penjuru negeri akibat peran dari media. Hal demikian membuat kita tidak bisa mengelakkan lagi bahwa apa yang disampaikan oleh media – secara langsung akan berimbas bagi banyak orang (massa) yang terhubung dengan media.
Ada beberapa jenis media yang berkaitan dengan massa, diantaranya: media cetak, elektronik, dan siber. Dari beragam jenis media tersebut, hal yang selalu disoroti oleh masyarakat adalah media elektronik (televisi) dan siber (media sosial) – meski tidak menutup kemungkinan peminat media cetak juga besar jumlahnya. Kedua media tersebut sudah tidak bisa dilepaskan lagi dalam aktivitas sehari-hari kita. Bahkan, banyak dari kita merasa “ada yang kurang” apabila sehari saja tidak menyentuh kedua media tersebut. Wajar apabila rasa itu timbul sebab segala kesenangan banyak ditemukan di sana. Kesenangan itulah yang menjadi candu dan berubah menjadi kebiasaan.
Sayangnya, banyak yang tidak menyadari bahwa tidak selamanya yang disajikan oleh media adalah benar dan bermanfaat. Terkadang ada sisi negatif yang terkandung dalam media dan tidak sedikit media tertentu justru menjerumuskan penikmatnya. Tanpa disadari, media – terutama televisi yang mengisi hari dengan berbagai tayangan yang mengasyikkan telah menjelma menjadi sesuatu hal yang “horor” terhadap budaya literasi anak bangsa. Konten tayangan di televisi lebih banyak bertujuan untuk hiburan ketimbang edukasi. Televisi yang didominasi oleh tayangan drama serial, gosip selebriti, komedi, dan tayangan lainnya telah merenggut waktu membaca seseorang dalam setiap harinya. Sialnya lagi, jika kita cermati pada beberapa tayangan televisi banyak tayangan yang mempertontonkan hal yang tidak sewajarnya tayang di televisi berskala nasional yang disaksikan oleh berbagai kalangan umur. Sebagai contohnya adalah adegan perkelahian di film, kisah percintaan remaja yang teramat vulgar, keindahan tubuh yang lebih ditonjolkan ketimbang kecerdasan akal, sampai umpatan-umpatan yang apabila ditonton oleh anak kecil akan sangat mudah memengaruhi karakter mereka karena di usia mereka sifat imitasi sangat tinggi. Semua hal dipertontonkan tanpa memikirkan dampak akibat tontonan mereka hanya demi meningkatkan rating. Belum lagi acara berita di televisi yang tidak berimbang kerap kita jumpai pada masa-masa mendekati pemilihan umum. Banyak yang beranggapan transaksi kepentingan politik seakan-akan telah mengintervensi media yang seharusnya dapat menjadi sumber informasi terpercaya bagi pemenuhan kebutuhan informasi publik.
Kini yang terjadi justru sebaliknya, berbagai media saling serang sehingga membuat masyarakat bingung ingin percaya yang mana dan alhasil terbentuklah kubu-kubu dalam masyarakat. Meski Komisi Penyiaran Indonesia telah mengambil langkah tegas mengatasi hal tersebut, namun tetap saja sebuah pertanyaan mencuat ke publik, “KPI telah sering menegur bahkan melarang tayangnya suatu acara televisi yang melanggar kode etik, akan tetapi mengapa hingga saat ini masih ada acara televisi yang membuat kontroversi?” Perlu adanya evaluasi lebih mendalam terhadap para pemangku kepentingan dibalik media tersebut guna terbentuknya suatu kerja sama yang menghasilkan tontonan televisi yang baik dan bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Dapat dikatakan perlu terjadinya hubungan mutualisme di antara semua pihak tanpa mengecilkan satu pihak pun.
Di samping bahaya dominasi televisi, tidak kalah menakutkannya adalah media sosial. Dilansir dari laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia – pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang dan 95 persennya adalah pengguna yang menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Angka tersebut menandakan sisi positif yang menunjukkan bahwa perkembangan internet di Indonesia sangat pesat dan memudahkan masyarakat Indonesia berkomunikasi tanpa batas jarak. Namun di sisi lain, apabila tidak diimbangi dengan sikap yang bijak dalam menyikapi penggunaan media sosial akan menimbulkan beragam masalah sosial yang baru, seperti adu domba, saling menyindir di media sosial, dan lebih parahnya adalah prostitusi yang dijalankan melalui media sosial. Hal yang tidak kalah memprihatinkan saat ini adalah banyaknya konten-konten dengan judul berita atau artikel di media sosial yang cenderung provokatif. Padahal itu sangat rentan menimbulkan kesalahpahaman terutama bagi masyarakat Indonesia yang minat bacanya tidak setinggi negara lainnya. Berdasarkan studi Most Littered Nation in The Wolrd yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Dengan kata lain, apabila pemakai media sosial menemui sebuah berita dengan judul yang provokatif dan menjatuhkan pihak yang menurutnya salah, tanpa membaca isi konten tersebut secara menyeluruh dan tanpa berpikir panjang pula konten tersebut dengan mudahnya disebarkan begitu cepat ke media sosial miliknya, sehingga saling salah-salahan dan merasa paling benar akan membuat bangsa Indonesia akan terpecah. Dampak-dampak negatif tersebut tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa adanya upaya pencegahan dan perbaikan. Karena jika diabaikan, virus jahat media sosial akan mudah tersebar ke segala penjuru negeri dan membentuk persepsi masyarakat yang lebih mengedepankan golongan tanpa memikirkan persatuan bangsa, lebih khusus akan berdampak negatif pada generasi muda yang sedang membentuk karakter dan menemukan jati dirinya akan mudah dipengaruhi oleh “asuhan” media sosial yang kurang baik tersebut.
Dari semua itu, harapan agent of change bagi generasi muda akan pudar dan cita-cita bangsa akan sulit terwujud tanpa adanya persatuan yang kokoh dari seluruh anak bangsa di negeri Indonesia tercinta ini. Para pemangku kepentingan di balik media harus menyadari bahwa apa yang disajikan oleh media akan berimplikasi kuat dalam membangun persepsi di masyarakat. Apa yang disajikan harusnya memiliki manfaat yang dapat dirasakan bagi para konsumennya. Terlebih dalam menyikapi minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah, media harus tampil sebagai solusi dengan menampilkan tayangan-tayangan yang edukatif dan mendorong masyarakat untuk membaca dan mendapat pengetahuan baru dari apa yang disajikan oleh media. Terkait maraknya konten-konten hoax, media sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen dari media harus menyadari bahwa sebelum menilai sesuatu itu salah dan mencelanya di dunia maya, mereka harus intropeksi bagaimana diri mereka terlebih dahulu, apakah mereka sudah baik untuk menilai seseorang salah melalui konten di media yang belum tentu kebenarannya lantas tanpa berpikir panjang menyebarkannya ke berbagai akun media sosial yang mana hal itu membuat konten-konten hoax semakin menjamur dan merugikan pihak yang menjadi korban. Masyarakat harus cerdas dan bijak dalam mengosumsi konten-konten yang ada di media. Dalam menyikapi setiap konten yang ada di media masyarakat harus mempertimbangkan kebenaran konten tersebut, jangan asal bagikan begitu saja.
Lagipula apabila konten tersebut benar, apakah layak bagi kita untuk menyebarkan keburukan orang lain di media tanpa berkaca kekurangan diri sendiri? Ibarat kata pepatah, Gajah di pelupuk mata tak tampak, sedangkan semut di seberang lautan tampak, yang maknanya sebelum menilai kesalahan orang lain harus mengintropeksi kekurangan diri sendiri. Hal itu yang sangat utama dalam menyikapi berbagai fenomena yang ada di media. Inti terpenting dalam implikasi media dengan masyarakat adalah bagaimana masyarakat dan para pemangku kepentingan di media bekerja sama untuk menyebarkan kebaikan terutama yang berakaitan dengan mendorong minat baca dan nilai-nilai edukasi pengetahuan kepada semua masyarakat penikmat media bukan malah menyulut permusuhan yang dilandaskan ego pribadi. Media yang cerdas dan bijak nantinya mampu menjadi solusi untuk membangkitkan gairah literasi bangsa.
REFERENSI
Kominfo. Pengguna Internet di Indonesia 63 Juta Orang, (Online) https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker (Diakses pada 13 November pukul 23.22 WIB).
Gewati, Mikhael. 2016. Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia, (Online) http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia (Diakses pada 13 November pukul 22.04 WIB).
Penulis : Aziz Darmanto
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang Angkatan 2015. Pernah menjadi juara 1 lomba artikel kebhinnekaan yang diselenggarakan oleh Organisasi Jogja Menjaga Bhinneka. Penulis dapat dihubungi via: Nomor HP 088210137524. IG @azizdarmanto. Email [email protected])