Emha Ainun Nadjib, atau lebih familiar di kuping kita dengan nama Cak Nun. Budayawan yang juga sering sekali muncul di layar kaca youtube sebagai pendakwah ini sudah mulai di kenal di masyarakat luas. Namun, ternyata sebelum lewat channel youtube, Cak Nun sudah menulis beberapa buku, yang secara kebetulan ataupun disengaja hampir semuanya berbentuk esai. Salah satu buku esainya yang menarik bagi saya adalah buku yang diberi judul “Gelandangan di Kampung Sendiri.” Cak Nun, secara apik menempatkan dirinya bukan sebagai konsultan, namun dalam bukunya ini, dia justru menempatkan dirinya sebagai orang yang berkonsultasi, alias masyarakat umum nan jelata.
Karakteristiknya sebagai tukang protes pun tak terelakkan. Melalui buku yang terbit tahun 1995 ini, Cak Nun secara gamblang nan sederhana mencoba menerjemahkan segala keluhan yang ada di masyarakat kala itu. Dia mencoba beralih dan menempatkan dirinya sebagai rakyat yang punya segudang masalah yang perlu diselesaikan. Dari mulai susahnya mencari makan, mencari uang, hingga harus berurusan dengan sekelompok bajingan, yang sering mengatasnamakan diri mereka sebagai oknum. Belum lagi, soal posisi rakyat yang selalu dianggap sebagai komplotan terendah dari struktur negara, di Indonesia khususnya.
Namun, yang menarik dari isi buku yang di terbitkan oleh Pustaka Pelajar ini adalah ketika saya mencoba menguji salah satu materi yang Cak Nun sampaikan dalam bukunya ini. Tentu tak semudah menuliskannya. Menguji logika Cak Nun dalam buku ini dihadapan para akademisi seperti memberi makan buaya dengan masuk ke kandangnya. Bisa diterkam, dan naasnya bisa dimakan hidup-hidup. Para mahasiswa yang kemungkinan besar belum pernah membaca buku karya Cak Nun, termasuk buku ini. Jelas akan sulit menerima logika Cak Nun yang saya lemparkan saat itu juga.
Masih ingat dibenak saya, ketika saya menjadikan salah satu materi Cak Nun dalam bukunya yang berjudul “Gelandangan di Kampung Sendiri” sebagai materi yang saya sampaikan dalam sebuah latihan berpidato. Waktu itu, saya dengan ngawurnya menyampaikan isi dari logika Cak Nun, yang mengisahkan kemiskinan Rasulullah SAW. Ceritanya begini, dalam esai yang di tuliskan Emha Ainun Nadjib, Rasulullah SAW digambarkan sebagai makhluk paling miskin seantero Arab, bahkan dunia. Bagaimana tidak, diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah didatangi oleh seorang anak yang disuruh ibunya untuk meminta sesuatu kepada Baginda Rasul, namun yang terjadi justru waktu itu Rasulullah tidak punya apa-apa. Alhasil, Rasulullah memberikan baju yang dipakainya kepada anak kecil itu. Kemudian, Rasulullah tidak memakai baju, lantas kedinginan.
Cak Nun sebenarnya tidak hanya mengisahkan. Namun, juga memberikan esensi dari setiap kejadian yang dia tuliskan dalam esainya itu. Seperti halnya kejadian diatas, Cak Nun sukses menelaah dengan mudah kejadian itu. Disimpulkannya, bahwa manusia tidak boleh pelit, tapi dalam bersedekah manusia juga harus rasional dan realistis. Maksudnya adalah, kita tidak boleh pelit, tapi saat memberikan sesuatu kepada orang lain atau bersedakah, kita harus melihat kondisi kita sendiri terlebih dahulu. Kesimpulan singkatnya ini yang lantas membuat saya tertegun-tegun seusai membacanya. Sungguh Cak Nun berhasil melogika kejadian itu dengan sesederhana mungkin, malah logika saya pun tak sampai kesitu. Namun, yang saya herankan, ketika saya sampaikan di hadapan kawan akademisi itu, hal ini justru dianggapnya biasa saja. Bahkan salah satu dari mereka mencoba mencuap, dengan dalih kalau Rasulullah itu bukan orang yang miskin, melainkan dalam benak para akademisi, termasuk dosen yang tengah duduk temangu, namun tak setuju itu adalah Rasulullah sebagai orang yang kaya, karena mungkin mereka hanya sebatas mendengar cerita Rasulullah sebagai sosok yang kaya raya. Cerita mengenai kondisi miskin dari Muhammad SAW mungkin belum pernah masuk di kuping mereka (dosen dan mahasiswa alias para akademisi).
Lalu, mengapa Cak Nun sedikit mengerdilkan sosok Muhammad SAW dengan kemiskinan? Begitulah persepsi, Cak Nun dalam buku ini jelas memosisikan dirinya sebagai rakyat yang serba terjepit masalah, seperti kemiskinan. Sehingga beliau mencoba mencontohkan sisi lain dari kehidupan Rasulullah yang tentu pas untuk kalangan masyarakat kecil. Apalagi tidak membuat rakyat tersinggung melalui tulisan esainya itu.
Coba saja, apabila yang dimuat dalam esai Cak Nun adalah kekayaan dari Rasulullah, apakah itu tidak menyindir orang-orang miskin? Lalu, bagaimana bisa Cak Nun memberikan solusi kepada rakyat jelata, kalau dia sendiri menyindirnya? Itulah yang belum dipikirkan kaum akademisi yang saat itu ada di depan saya. Mereka belum mampu menyetir pemikirannya sampai kesitu. Padahal sebenarnya, orang-orang yang duduk di singgasana kampus-kampus itu nantinya akan lari kemana kalau tidak ke masyarakat? Masyarakat yang notabene beragam, ada yang miskin, ada pula yang kaya, seharusnya mampu diperhatikan oleh kalangan akademisi itu. Mereka harusnya pandai menempatkan contoh, seperti apa yang dilakukan Cak Nun.
Takutnya, saat turun ke masyarakat, mahasiswa bahkan dosen pun belum sanggup memberikan contoh yang pas. Misalnya, berhadapan dengan orang-orang miskin, apa iya mau contohnya kekayaan Rasulullah? Kan agak kurang pas. Celakanya, mungkin itu yang sudah terjadi sekarang. Hasilnya, masyarakat kecil, terutama, kurang mempercayakan masa depan yang sejahtera kepada kaum akademisi. Namun, lagi-lagi umat akademisi itu tetap ngotot, bahkan dosen yang tadinya hanya duduk termangu, mulai berkoar dengan menyodorkan pertanyaan, bukannya Rasulullah itu kaya? Kalau berqurban pun banyak, hingga ratusan unta? Mendengar pertanyaan itu saya hanya diam terpaku, sambil sedikit tertawa lepas di dalam hati. Hahaha!
Judul : Gelandangan di Kampung Sendiri
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Tahun Terbit : 1995
Cetakan : I
Penerbit : Pustaka Pelajar
Resensor : Muhammad Arsyad