“Yang terpenting diingat ialah tatkala kita mau kembali menggali dari tradisi yang lalu, kita harus bersedia untuk memilih tradisi yang dapat mengembangkan kemanusiaan kita masa kini, bukan pula dari tradisi budaya yang membelenggu dan mengkerdilkan kepribadian, pandangan dunia, dan sistem nilai.”
~Azhar Ibrahim~
Bagi masyarakat jawa, syawalan adalah tradisi yang tidak asing di telinga mereka. Syawal merupakan nama bulan ke-10 dalam kalender Hijriah. Sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur dan kemenangan setelah berpuasa ramadhan satu bulan penuh serta puasa sunnah syawal, pada hari ke-7 syawal, masyarakat jawa melakukan tradisi syawalan. Tradisi ini sering dilakukan di berbagai daerah di jawa dengan cara masing-masing.
Di daerah Pekalongan, tradisi syawalan dilakukan dengan mengunjungi rumah tetangga sekitar dan menjamu tamu dengan lopis dan lotisan (lotekhan). Dilansir dari juournaliaingorontalo.ac.id, pembuatan lopis terinspirasi oleh pidato Bung Karno dalam rapat akbar di Lapangan Kebon Redjo tahun 1950. Bung Karno berpesan agar masyarakat Pekalongan dapat bersatu seperti lopis.
Menurut penuturan Iwan, warga Krapyak Kidul, bahan pembuatan lopis pada mulanya dikumpulkan secara kolektif. Setiap rumah memberikan segenggam beras ketan kemudian dikumpulkan menjadi satu dan dibuat lopis. Beberapa tahun setelahnya berupa dana swadaya pemuda Krapyak. Namun setelah Pemerintah Kota (baca: pemkot) Pekalongan menetapkan tradisi Syawalan sebagai salah satu wisata Kota Pekalongan, pemerintah memberikan bantuan berupa pendanaan agar tradisi syawalan terselenggara dengan sukses. Sejak saat itu lopis yang dibuat warga Krapyak Kidul berukuran lebih besar. Bahkan pada Desember tahun 2002, masyarakat Krapyak Kidul mendapatkan piagam penghargaan museum rekor indonesia atas prestasi pembuatan lopis terbesar.
Pembuatan lopis raksasa sebagai ikon syawalan Krapyak Pekalongan sebenarnya mempunyai filosofi yang dalam. Berdasarkan penuturan K.H. Zainudin Ismail-salah satu sesepuh masyarakat Krapyak Kidul-lopis yang terbuat dari beras ketan yang bersifat lengket, diidentikkan dengan kerukunan sesama warga. Bungkus lopis menggunakan daun pisang membutuhkan kesabaran dan melambangkan bahwa manusia harus bermanfaat untuk sesamanya, karena pohon pisang tidak akan mati sebelum ditebang pemiliknya setelah berbuah. Adapun bambu tegak lurus yang digunakan untuk menyangga lopis diartikan dengan hablum minallah, yaitu hubungan kepada Allah. Sedangkan pengikatan lopis dengan tambang adalah hablum minallah dan hablum minannas, yaitu hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia.
Namun seiring berjalannya waktu, tradisi syawalan berubah menjadi tradisi menonton dan membandingkan lopis raksasa. “Sebesar apa sih lopis raksasa tahun ini?”, “Apakah lebih besar dari tahun lalu?”, “Apakah lopis daerah ini lebih kecil dari daerah lain?”, “Daerah mana ya yang lopisnya paling besar?”. Demikian sekiranya pertanyaan pengunjung dari luar Krapyak Kidul.
Warga yang datang pun tak sungkan untuk berfoto dengan lopis raksasa dan memamerkannya di media sosial dengan menambahkan caption yang bermacam-macam. Bahkan Iwan mengemukakan, hal yang lebih riskan yaitu adanya keyakinan atau mitos bahwa lopis raksasa ampuh untuk mengobati orang sakit.
Bergantinya “kaca mata” pengunjung mengenai tradisi syawalan Krapyak, lambat laun dapat melunturkan filosofi lopis raksasa yang sebenarnya. Tradisi syawalan yang sejatinya adalah tradisi religi-yang mengedepankan prinsip saling menghormati sesama warga, silaturahmi, dan menghormati tamu-akan berubah menjadi tradisi mencari sensasi. Jika diibaratkan lopis raksasa adalah merek kopi, maka syawalan merupakan kopi itu sendiri. Merek kopi tidak dapat terkenal jika kopinya tidak enak saat dinikmati. Kopi yang enak dinikmati adalah kopi yang aromanya saja sudah memabukkan, bukan? Begitu pula dengan tradisi syawalan. Syawalan akan tetap menjadi tradisi yang apik jika nilai religinya masih terjaga.
Lopis yang mampu mengalihkan animo masyarakat sebenarnya hanyalah ikon dari syawalan Krayak. Tanpa syawalan, lopis raksasa tidak akan pernah ada. Jika filosofi lopis raksasa sudah tidak dihiraukan dan syawalan hanyalah “menonton lopis raksasa”, bagaimana nilai tradisi dapat terjaga? Sebagai warga yang mencintai tanah air, apakah anda bersedia membersihkan debu di “kaca mata” anda?
Elif Hudayana