Hidup adalah melawan lupa. Sejak lahir manusia sudah dipaksa lupa dari masa sebelum ia terlahir. Kemudian lupa masa-masa kecil, dan seterusnya. Manusia dituntut untuk mengetahui asal-usulnya, super ego berusaha mengingatkan hal-hal tersebut, agar mengetahui sesungguhnya id yang ada dalam diri manusia. Dan ego berperan dalam hal keduanya. Dorongan untuk menyejajarkan keduanya. Barangkali begitu jika psikoanalisa Freud diaplikasikan.
Kelupaan-kelupaan ini, akan menimbulkan bencana bagi si pelupa, maupun akan berimbas pada orang-orang disekitarnya. Lupa serupa penyakit yang menular, yang tanpa sadar seseorang telah terjangkit. Maka dari itu dibutuhkan pengingat, agar kelupaan ini tidak semakin bertambah. Karena apabila kelupaan dibiarkan, akan sulit si pengingat untuk mengingatkan.
Pada akhir tahun sampai dengan bulan Februari kemarin, ada fenomena kelupaan masal. Kita melihat betapa ramainya saat pilkada serentak diselenggarakan, baik saat masa kampanye hingga saat hari-H.
Pilkada dilakukan di 101 daerah di Indonesia, tetapi pemberitaan di media, maupun pembahasan-pembahasan di dunia maya, terforsir hanya pada satu daerah, Jakarta. Bahkan ketua KPU Jakarta menyampaikan hal bernada demikian ketika debat ke tiga pilkada Jakarta.
Rakyat Indonesia seolah terbagi menjadi dua kubu. Kubu Ahok dan Kubu yang penting bukan Ahok. Barangkali penyebab ini adalah Ahok diduga telah menistakan agama. Kita masih ingat bagaimana jutaan massa berdemo di Jakarta.
Pasca kejadian itu, semakin bertambahlah jarak orang yang pro dan kontra Ahok. Mereka perang opini di media sosial, tidak jarang menyebarkan aib yang belum tentu benar. Di sini hoax mempunyai jalan, yaitu kelupaan seseorang.
Mereka telah lupa pada hati nurani, karena derasnya informasi, baik yang benar ataupun hoax. Pemberitaan-pemberitaan dari media pun dari judul sudah terlihat memprovokasi. Akibatnya banyak yang tersulut, kemudian orang-orang yang tadinya tidak menanggapi, akan mulai tertarik menanggapi.
Manusia cenderung mengikuti arus, mereka mengikuti arus agar dilihat eksistensinya, apalagi jika menyangkut SARA. Para bedebah memanfaatkan hal tersebut untuk maksud jahatnya dan bisa dikatakan hal itu berhasil. Para bedebah adalah kejahatan yang secara halus menelusup di hati manusia, itulah penyebab manusia hipokrit tercipta.
Di bulan yang baru ini, kita harus berusaha mengingat apa yang telah terlupa di bulan-bulan sebelumnya. Tidak ada manusia yang terbebas dari kelupaan, karena manusia memang hakikatnya terlahir untuk mengingat suatu kelupaan. Kelupaan pada Sang Penguasa Semesta.
Membenci adalah suatu kewajaran. Tapi membenci seseorang adalah suatu kesalahan. Karena bukan personal manusia yang layak dibenci, tapi suatu kekejian yang telah melekatinya. Semua manusia ingin dimanusiakan dan harus memanusiakan manusia. Hal satu ini yang sering terlupakan.
Penulis : Inet Bean