KAIN batik dan keris dapat kita lihat dan sentuh secara fisik. Demikian juga gamelan dan angklung. Yang dapat kita sentuh dan pakai itu adalah warisan budaya bendawi (tangibles), sedangkan yang diakui UNESCO adalah warisan budaya tak benda atau nirwujud, yang di dalam buku ini disebut intangibles. Dalam istilah UNESCO, budaya tak benda juga di masyarakat, seni, filosofi, cara pembuatan, dan teknik pewarnaan batiklah yang diakui UNESCO. Dengan diterimanya batik sebagai warisan budaya tak benda, pewarisnya (bangsa Indonesia) punya kewajiban untuk terus menjaga kelestariannya melalui pendidikan, program kebudayaan, keterampilan, dan kegiatan lainnya.
Tanpa perhatian pada aspek intangibles, lenyaplah aspek-aspek tangibles.
Tahukah kita bagaimana produk-produk intangibles itu memperoleh pengakuan? Pertama-tama, tentu saja pemiliknya harus dapat membuktikan bahwa mereka adalah pewaris yang sah, bukan menjiplak dari bangsa lain, bukan pula megaku-aku sebagai pemilik jika bukan berasal dari nenek moyangnya.
Kedua, harus ada indikasi bahwa bangsa pewaris itu serius melestarikan nilai-nilai budaya dengan melibatkan masyarakat atau komunitas para ahli warisnya, dan mengembangkan keunikan dari warisan tak benda tersebut. Upaya itu dapat berupa alokasi anggaran yang memadai, pembinaan, penelitian dan pengembangan, peremajaan, kursus-kursus dan pelatihan, galeri untuk mempertontonkan karya-karya penyelenggaraan kegiatan pameran, sampai penyuluhan yang memungkinkan warisan budaya itu tetap hidup dan bercahaya. Tentu saja warisan budaya tak benda itu dapat berkembang menjadi produk-produk komersial yang digemari dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Tetapi itu bukan tujuan utamanya.
Ketiga, harus ada bukti-bukti eksplisit yang merupakan hasil kajian atau penelitian yang membuktikan hal pertama tersebut. Sayangnya di Indonesia, produk-produk kebudayaan itu lebih banyak ditularkan melalui jalur tacit (budaya percakapan) daripada explicit. “Seperti di batik praktisinya banyak. Tetapi mencari profesor yang ahli batik, susahnya setengah mati,” ujar utusan Pemerintah Indonesia di UNESCO, Arief Rahman. Maksudnya, hampir tidak ada orang yang meneliti lalu membuat publikasi ilmiah tentang batik yang dapat dijadikan referensi dunia.
Karena tak ada yang mentransfer intangibles itu ke dalam bentuk tulisan, produk-produk budaya intangibles Indonesia terhambat memperoleh pengakuan UNESCO. Sementara Malaysia yang tidak memiliki tradisi membatik begitu menggebu-gebu membuat simposium ilmiah tentang batik yang diikuti para ahli tekstil dan kebudayaan dari berbagai universitas terkemuka dunia. Bahkan dalam salah satu pameran yang diselenggarakan pemerintah Malaysia, pernah ditemukan sebuah poster yang menunjukkan bahwa membatik adalah sebuah tradisi yang seakan-akan bukan khusus berasal dari Indonesia.
“Batik is everywhere,” bunyi poster itu.
Di situ terpampang peta migrasi keterampilan membatik yang berasal dari Mesir, lalu berakar di China, India, selanjutnya tumpah di Malaysia, Indonesia dan seterusnya. Dengan demikian ‘secara ilmiah’ ingin dikesankan bahwa tak ada salahnya apabila mereka juga punya hak untuk mengatakan di negeri mereka ada batik Malaysia. Mungkin seperti kita disini: Ada batik Solo, batik Jogja, batik Pekalongan dan batik Papua.
Apa pun yang mereka kerjakan, sebuah proses memobilisasi intangibles telah mereka lakukan. Mereka mencari akar budaya dan membentuk citra dari apa yang bisa mereka bangun, meski akar itu tidak begitu kuat.
Malaysia membuat tradisi membatik secara explicit, sementara itu di Indonesia batik adalah tacit knowledge. Tanpa tacit, intangibles tidak akan berbuah. Ia hanya menjadi pohon plastik yang buahnya tidak bisa dinikmati. Sebaliknya, tanpa explicitness, intangibles akan berjalan di tempat, sulit ditularkan dan diawetkan, sehingga buah-buahnya yang berlimpah hanya berjatuhan di bawah pohon-pohon besar dan cepat membusuk.
Kita sudah punya banyak praktik yang berakar pada keterampilan kebudayaan dan tata nilai positif, tetapi untuk menjadikan semua itu tumbuh dan berkelanjutan kita perlu menuliskannya. Jadi, praktik-praktik itu akan menjadi sebuah kekuatan yang lebih besar dan dapat dipelajari secara terbuka melalui peradaban tertulis.
Perlu dipahami bahwa aspek terpenting di belakang intangibles adalah memory. Memory itulah yang menggerakkan manusia untuk berkarya dan bertindak. Kita telah begitu banyak mengenal dan mengambil manfaat dari brain memory. Sekaranglah saatnya melatih otot-otot kita, otot-otot manusia unggul Indonesia. Bukan untuk memimpin demo, atau membiarkan tumpah di jalanan sebagai pelaku kerusakan, atau menjadi bonek di kereta api, melainkan menjadikan otot yang cerdas untuk memobilisasi intangibles nasional dan menghasilkan keunggulan. Itulah myelin, atau yang kita sebut muscle memory. Muscle memory dapat dibangun di dunia kesenian, olahraga, akademis, dan tentu saja di dunia usaha.
Penulis : Fatoni Prabowo Habibi