Membaca, menulis dan diskusi, itulah budaya yang semestinya melekat pada setiap diri mahasiswa. Jika tiga hal itu saja belum terlaksana, maka tidak pantas mahasiswa mengaku sebagai agen perubahan, seperti yang kerap digembar-gemborkan pada momentum acara kemahasiswaan.
Tingkat —- budaya diskusi dalam suatu kampus dapat terlihat dari ramainya lingkungan kampus akan lingkaran-lingkaran mahasiswa yang berdiskusi.
Bagaimana dengan mahasiswa IAIN Pekalongan sendiri? Aduhai, semenjak kuliah disini, jarang dijumpai kaum intelek ini melingkar menyelimuti taman kampus, mushola, teras-teras kelas, atau sudut-sudut kampus untuk berdikusi.
Paling banter, mereka bergerombol untuk sekedar bergosip, bicara ngalor-ngidul tak jelas apa yang dibahas, ataupun mojok bersama pujaan hati. Padahal, Diskusi merupakan kegiatan saling betukar pikiran atau ilmu antara dua orang atau lebih, dengan diskusi kita bisa mendapatkan ilmu-ilmu baru yang tidak kita dapatkan ketika kita hanya berdiam dibangku perkuliahan saja. Dalam bangku perkuliahan yang kita dapati adalah teori-teori karangan para ahli yang kadang tak mudah dicerna oleh bahasa fikiran kita. Hal ini terjadi karena didalam kelas adanya dosen yang hanya menerapkan komunikasi satu arah dan pasifnya mahasiswa dalam mengeluarkan dalil-dalil ilmiahnya saat diskusi dikelas berlangsung. sehingga, kegiatan perkuliahan manjadi monoton dan terkesan tak menimbulkan greget bagi mahasiswa. Dampaknya, suasana ilmiahpun tak tercipta karena kondisi lingkungan yang kurang mendukung.
Di STAIN Pekalongan sendiri, budaya diskusi sudah makin menipis. Sering dijumpai taman-taman, gazebo, teras-teras depan kelas, ataupun mushola, merana karena jarang terjamah oleh mahsiswa yang asik bertukar pikiran dengan diskusi. Mereka lebih asik mengutak-atik laptop, handphone, gadget, atau android. Teknologi bagai truk tronton tanpa rem yang terus melaju dengan cepat yang siap menabrak siapapun yang ada dihadapanya. Apakah sebagai mahasiswa kita tidak segan diperbudak oleh teknologi?. Tidak kah kita dengar slogan oleh kampus ini, bahwa mahasiswa merupakan ‘agent of change’, yang artinya bahwa peran agung mahasiswa yang sesungguhnya adalah membawa perubahan dimasyarakat. Bagaimana masyarakat bisa berubah? Kalau kita sebagai ‘agen of change’ saja hanya mampu bermalas-malasan karena terlalu manja dengan teknologi. Bahkan, tugas makalah yang harusnya dikerjakan dengan diskusi bersama dengan kelompok diselsaikan dengan cara copy-paste makalah diinternet. Teknologi membuat kita mengenal dunia tanpa batas, tapi dampaknya dengan teknologi menyebabkan orang cenderung memikirkan cara-cara instan. Cukup dengan browsing apa saja di mbah google apapun yang kita cari bisa muncul. Kalau sudah seperti ini kitapun menjadi malas untuk lama-lama duduk melingkar mendiskusikan hal-hal tertentu,karena hal seperti ini sungguhlah sangat membosankan. Sebab semua hal yang ingin kita ketahui sudah tersedia diinternet. Beginilah dampaknya kalau pikiran kita masih terkurung dalam tempurung kepala. Padahal, banyak sekali hal yang manfaat dalam diskusi. Seperti pengetetahuan nan luas yang akan kita miliki ketika kita aktif berdiskusi, selain itu dengan berdiskusi kita juga bisa belajar menghargai pendapat orang lain yang tak sependapat dengan pendapat kita. Diskusi juga merupakan kegiatan pembelajaran yang efektif, hal ini juga yang juga diterapkan oleh beberapa dosen dalam kegiatan pembelajaran bagi mahasiswanya. Dengan diskusi akan terjadi komunikasi dua arah sehingga terjadi timbal balik antara pengajar dan mahasiswa. Namun, banyak mahasiswa merasa malu ketika akan mengeluarkan pendapatnya. Hal ini membuat kegiatan berdiskusi menjadi kurang efektif. Tak hanya dibangku perkuliahan saja, di bangku SMApun sekarang sudah banyak guru yang menerapkan diskusi sebagi media pembelajaran yang efektif.
Kendati demikian, kegiatan diskusi jarang sekali kita temui dilingkungan STAIN Pekalongan. Banyak hal yang menyebabkan kegiatan berdiskusi jarang ditemui dikampus rahmatan lil’alamin ini. Seperti banyaknya mahasiswa yang laju dari rumah, sibuk dengan pekerjaan sambilan, sampai alasan klasik yakni malas. Terkikisnya budaya diskusi menyebabkan pemikiran kita menjadi stagnan. Karena tak ada kepala lain yang bisa kita ajak bertukar fikiran, dan isi kepala kita hanya sekedar apa yang kita tahu saja. Padahal, didunia ini tak hanya apa yang kita ketahui, tapi banyak hal lain pula yang belum kita ketahui, nah dengan berdiskusilah kita dapat mengetahui apa yang belum kita. Karena didalam berdiskusi ada banyak hal yang bisa dibahas mulai dari materi kuliah yang sangat sulit, keagamaan, teknologi, dan masih banyak lagi yang tentunya takkan pernah habis jika kita bahas bersama.
Diskusi bukan hanya budaya yang diturunkan secara turun temurun dari mahasiswa zaman dahulu. Tetapi diskusi merupakan aspek penting yang bisa kita gunakan untuk mengisi waktu luang, ketimbang kita harus menghabiskan banyak waktu dengan berdiam, main hp, laptop, atau hal lain yang kurang bermanfaat. Akan lebih baik jika kita beradu pemikiran dalam sebuah forum diskusi agar daya intlektulitas kita makin tajam. Seharusnya budaya seperti ini sudah melekat dalam diri seorang mahasiswa. Dengan rasa keingin tahuan yang tinggi setidaknya bisa menjadi motivasi tersendiri untuk mendorong kita mencari tahu. Apalagi jika kita sudah menanam mindset bahwa diskusi merupakan hal yang menyenagkan, tentunya kita akan terkena efek kecanduan untuk berdiskusi. Tetapi yang banyak dijumpai dikampus banyak mahasiswa yang masih enggan untuk bergabung dalam forum diskusi. Kemunduran budaya dikampus kita sudah sepatutnya kita tangani bersama, jangan sampai lingkungan STAIN Pekalongan mengalami kemunduran budaya dikarenakan mahasiswa bersikap malas ataupun apatis sehingga budaya diskusi makin terkikis. Lingkungan kampus seharusnya mennciptakan suasana ilmiah agar menibulkan semangat belajar bagi mahasiswanya.
Ada beberapa perbedaan antara mahasiswa yang sering ikut berdiskusi dengan mahasiswa yang hanya duduk lalu pulang. Mahasiswa yang aktif dalam berdiskusi biasanya akan lebih aktif didalam kegiatan perkuliahan. Karena mampu menganalisa persoalan dengan baik, sehingga mampu memberikan solusi untuk tiap persoalan yang dihadapi. Selain itu, kebiasaan berdiskusi membuat kita peka terhadap isu-isu yang sedang merebak dikampus. Sedangkan mahasiswa “kupu-kupu”* akan sering terdiam dan pasif dikelas karena didalam hatinya muncul rasa ragu untuk mengeluarkan pendapatnya. Walaupun, banyak dosen yang mempergunakan keaktifan sebagai nilai yang akan digabungkan dengan nilai-nilai lain. Dengan berdiskusi membuat kita menjadi kritis, cerdas, serta inovatif dalam perkuliahan, karena kegiatan tersebut membuat fikiran kita makin luas dalam memandang materi karena banyak sumber yang kita temui. Tetapi jangan sampai kelebihan tersebut membuat diri makin berani melawan dosen yang mengampu.
Sudah saatnya kita bangun, jangan sampai sikap hedonis membuat kita menjadi apatis dengan budaya sendiri . Hal ini sebagaimanaditegaskan oleh Gus Dur yang menyatakan: Jika mengetahui merupakan kodrat hidup, maka sistem pendidikan adalah kebudayaan sehingga ketika sistem tersebut menjauhkan manusia dari pengetahuan diri, krisis pendidikan secara sah menjadi krisis kebudayaan. Belajar merupakan kebutuhan bagi tiap individu. Tidak hanya dari dosen saja ilmu bisa diperoleh, dari bertukar fikiranpun ilmu akan datang dengan sendirinya. Tanpa kita sadari diskusi membwa kita menjadi manusia yang dinamis yang peka terhadap ingkungan kampus
.
*kuliah pulang- kuliah pulang