Berawal dari keprihatinan tidak adanya Test IELTS (baca: aiel’s) di Kota Pekalongan, Isriani Hardini, berinisiatif menggandeng alumni UKM SPEAC untuk menyelenggarakan Meet Up bagi mahasiswa yang berminat memperdalam keterampilan Bahasa Inggris dan ingin melanjutkan studi di luar negeri.
Lewat jejaring pertemanan Facebook, saya ikut serta diundang oleh salah seorang alumni UKM SPEAC yakni Rizkinanti binti Palal. Meet up permulaan di UPB (Unit Pengembangan Bahasa) ini hanya dihadiri 4 orang termasuk saya, dimulai pada Selasa sore (26/4) pukul 16.15 WIB. Berikut beberapa topik yang menarik saya rangkum.
IELTS
Dini, sapaan akrab Isriani Hardini, kini sedang berusaha menembus studi di Australia. Dalam persyaratan resmi kampus yang sedang ia perjuangkan, salah satu terlampir: wajib menyertakan score IELTS. Dosen yang kesehariannya mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia –dalam kasus saya mengampu mata kuliah Penulisan Ilmiah Populer- di STAIN Pekalongan ini awalnya terbetik melanjutkan studi, sebab melihat kawan sejawatnya dan bahkan ada adik kelasnya yang fresh-graduate telah memiliki scoring IELTS dan mampu melenggang dengan mulus studi di luar negeri.
Dalam ranah mahasiswa, kebanyakan penerima beasiswa LPDP dan scholarship lainnya dengan mudah mendapatkan tiket belajar di negara-negara Eropa, Inggris, Australia, New Zealand dan negara persemakmuran Inggris lainnya melalui Sertifikat IELTS yang telah mereka pegang. Sementara itu, kampus lain di Indonesia, seperti UIN Makassar, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Walisongo Semarang, UIN Jakarta, UGM yang sudah harum namanya berhasil mengantar anak didiknya menyeberang ke negara lain tersebab dibiasakan untuk mengikuti Test IELTS.
Bahkan di IAIN Jambi, berdasarkan penuturan teman Kiki, begitulah Rizkinanti binti Palal biasa dipanggil, kebijakan terbaru kampus sudah memberikan bimbingan IELTS bagi alumninya setiap Jum’at, tanpa dipungut biaya sepeser pun. Gratis!
Namun bagi Dini, ia telah merasakan susah payahnya memperoleh hasil optimal IELTS, maka peran kampus mendorong serta menumbuh-kembangkan IELTS di lingkungan pendidikan tidak cukup. Setiap mahasiswa harus mampu self-learn, dengan mandiri mempelajari dan memperdalam ilmu yang ia dapat. Sebab kebanyakan soal IELTS adalah berbentuk isian, maka mau tidak mau, mahasiswa dituntut tekun dan terbiasa mengerjakan soal setiap hari.
“Saya pernah dalam satu hari tidak menjamah soal-soal IELTS, besoknya saya mencoba ternyata menurun hasilnya dibandingkan sebelumnya,” tukas Dini sembari menunjukkan progress prestasi belajarnya dalam tabel harian yang berisi beberapa sesi, mulai dari Reading, Speaking, Writing, dan Listening.
Dosen alumnus UGM tahun 2004 ini mengaku sedang mengasah kemampuan berbahasa Inggrisnya di IALF (Indonesia Australia Language Foundation) Surabaya selama beberapa bulan terakhir. Berdasarkan pengalamannya, IELTS memiliki beberapa sesi seperti tahap percakapan telepon, dialog, program radio, dan lecturing. Dini membeberkan bagaimana mengatasi kesulitan beberapa sesi tadi dengan sering mendengarkan podcast dan siaran berita internasional seperti BBC.
“Melalui podcast, terdapat text-nya tuh kita cocokin sama apa yang kita denger kemudian sering-seringlah menirukan juga dengan huruf vokal jelas diikuti penekanan yang sesuai, hampir serupa bisa kita lakukan dengan menyaksikan BBC lewat laman Youtube,” ujarnya menjelaskan lebih lanjut.
Selain itu berlatih menulis dengan konsisten turut diperlukan, usahakan tepat jangan mengira-ngira. “Misal menulis sebuah kata advance, jangan abaikan satu huruf, seperti kesalahan ‘v’ yang terganti dengan “f’ menjadi adfance. Fatal itu, kesalahan sekecil apapun. Menjadi tidak berarti apa-apa jawaban yang telah kita tulis. Maka, kunci pembelajaran yang efektif adalah konsisten, habit,” jelas Dini sambil sesekali tertawa mengingat kesalahan mengisi soal yang pernah ia lakukan.
TOEFL – IELTS
Saat mendaftar untuk kuliah di luar negeri, pasti akan diminta untuk memberi nilai tes kemampuan bahasa inggris TOEFL (Test Of English as a Foreign Language) atau IELTS (International English Language Testing System). Hal ini adalah untuk memastikan bahwa kemampuan kita dalam membaca, berbicara dan menulis dalam bahasa inggris semua cukup untuk mengikuti pelajaran di universitas nantinya. Namun, karena kedua tes ini menguji hal yang sama, banyak mahasiswa yang bingung akan tes manakah yang harus mereka ambil. Ada beberapa perbandingan antara tes TOEFL dan tes IELTS berikut ini untuk mendapatkan informasi lanjut tentang kedua tes ini.
Pertama, Perhatikan syarat universitas. Pada umumnya, tes TOEFL diminta oleh universitas di Amerika Serikat dan Kanada, sementara tes IELTS diterima oleh institusi di negara Australia, Inggris dan Selandia Baru. Namun, sekarang banyak universitas yang menerima kedua tes bahasa inggris tersebut, misalnya banyak universitas Amerika Serikat yang juga menerima tes IELTS. Sebaiknya, cek kembali mengenai syarat khusus yang diminta oleh universitas kita agar mengambil tes yang tepat.
Kedua, Biaya tes. Biaya yang harus dibayar untuk mengambil tes TOEFL adalah $175 dan untuk IELTS, biaya tes adalah $195.
Ketiga, Cara mengambil tes. Pada umumnya, tes TOEFL yang dimaksud adalah TOEFL iBT (Internet Based Test) dimana kita akan diminta untuk merekam semua jawaban kita di komputer. Untuk tes IELTS, semua jawaban akan ditulis tangan, dan bagian ‘speaking section’ akan diniilai langsung oleh orang yang akan mendengar jawaban kita.
Keempat, Cara penilaian tes. Tes TOEFL iBT yang terbaru memiliki nilai maksimum sebanyak 120, dimana setiap bagian (Reading, Listening, Speaking, Writing) masing-masing mempunyai nilai sebanyak 30 yang akan diakumulasikan. Tes IELTS menilai setiap bagian dengan skor 0-9, yang akan diratakan untuk skor akhir dalam skala 0-9.0. Untuk memenuhi kelolosan studi di luar negeri, menurut Dini harus mencapai skor 6.5 namun ada juga kampus di negara Jerman hanya memerlukan skor 5.0 ini kembali lagi pada sesuai persyaratan.
Kelima, Bahasa Inggris yang digunakan. Tes TOEFL menggunakan bahasa inggris Amerika, sedangkan tes IELTS menggunakan bahasa Inggris British. Walaupun keduanya relatif sama, ada beberapa ejaan, idiom dan logat yang berbeda diantara keduanya.
Keenam, Reading section. Bagian membaca di tes TOEFL akan memberi sekitar 3-5 teks bacaan diikuti dengan pertanyaan bersifat pilihan ganda. Sedangkan di IELTS, kita akan mendapatkan 3 teks bacaan dengan pertanyaan campuran.
Ketujuh, Speaking section. Dalam tes TOEFL, kita akan merekam jawaban kita dari enam pertanyaan pendek di sebuah computer. Di tes IELTS, kita akan berbicara dengan seorang penilai secara langsung dengan durasi 12-14 menit dimana kita akan ditanya beberapa pertanyaan tentang diri kita dan tentang sebuah topik diskusi.
Kedelapan, Writing section. Kita akan menulis dua jawaban untuk kedua tes ini. Untuk tes TOEFL, pertama kita akan menulis 300-350 kata mengenai sebuah topik yang ditentukan, dan esai kedua akan menggabungkan kemampuan menulis dan mendengar. Sedangkan di tes IELTS, esai pertama akan berupa 200-250 kata, dan dalam bagian kedua kita akan menyimpulkan pendapatan kita dari sebuah informasi grafik.
Kesembilan, Listening section. Di tes TOEFL, kita akan mendengarkan pembicaraan dan pengajaran selama sekitar 40-60 menit dimana kita harus mencatat informasi penting untuk menjawab pertanyaan pada akhir tes. Sementara di tes IELTS, kita akan mendengarkan berbagai jenis cuplikan audio pendek dan kita akan menjawab pertanyaan secara langsung sambil kita mendengar audio.
Kesepuluh, Kesusahan. Banyak orang yang bertanya tes manakah yang lebih mudah. Sebenarnya, hal ini berdasarkan pendapat subyektif dan kedua tes ini relatif sejajar dalam tingkat kesusahan. Bagi kita mungkin IELTS akan lebih sulit, Dini mengatakan karena iklim kampus dan seringkali kita lebih mengenal TOEFL yang dominan menggunakan pilihan ganda dibanding esai.
Kesebelas, Durasi tes. Tes TOEFL berlangsung selama hampir 4 jam, sedangkan IELTS memiliki durasi sekitar 2 jam dan 45 menit.
Academic Writing
Dalam pertemuan awal itu juga, Dini, mengungkapkan dirinya juga mempelajari Academic Writing. Dalam IALF Surabaya, peserta diminta memilih antara mengikuti General English dan Academic English. Dikarenakan penggunaan IELTS untuk melanjutkan studi luar negeri, maka disarankan memilih Academic English. Selain mempelajari step by step dalam Academic English juga memperdalam kemampuan peserta di bidang Academic Writing.
“(Academic Writing) kita jauh dari luar negeri, disana hanya mengambil intisari bukan mengutip penuh dengan jiplek. Itu plagiasi namanya,” imbuh Dini.
Dengan berbagi informasi dan tips-trik studi luar negeri ini, Dini berharap bisa memacu lulusan STAIN Pekalongan melanjutkan menimba ilmu di negeri barat. Sebab, dengan pesatnya perkembangan dunia tentunya kita sebagai mahasiswa tidak hanya bisa berada di Indonesia saja. Apalagi memperoleh ilmu yang bermanfaat adalah cita-cita yang mulia.