Seputih mutiara yang berkemilau memancarkan cahaya. Di ufuk senja, untaian tasbih memutar di jemari lentik makhluk-Nya yang bertakwa.
***
Semburat jingga terlukis di ujung langit, memaksa sekawanan burung kembali menekur di dalam sarangnya. Keredupan raja siang kini semakin kentara. Menandakan tugasnya yang akan segera paripurna. Lihatlah, di hamparan rumput hijau yang dengan asyiknya bergoyang kesana kemari mengikuti tiupan sang angin, terlukis sebuah wajah penuh gurat lelah. Bola mata yang biasanya berbinar, kini layaknya baterai yang melemah, redup tak berdaya. Bibir yang biasanya merekahkan sebuah senyum, kini telah tiada. Lenyap sudah lenggak lenggok tubuh aktif itu. Yang tersisa hanya kelesuan dan kemuraman semata.
Reina, gadis berparas ayu itu memang sedang dirundung masalah. Entahlah, masalah apa yang membuat diri itu bagaikan mayat hidup. Ia selalu bungkam ketika Aisya menanyakannya. Ia seakan ingin menyimpan rapat apa yang terjadi. Menutupnya dari semua orang bahkan dari sahabatnya itu.
“Reina …,” panggil Aisya dari atas sepeda.
“Pulang yuk, udah mau maghrib,” ajak Aisya yang melihat Reina tak beranjak sedikitpun.
“Pulanglah duluan, aku ingin menghabiskan senja di sini,” jawab Reina.
“Umi mencarimu dari tadi Rein, ia sampai menelponku,” cecar Aisyah yang tak tahu lagi bagaimana harus membujuk wajah pucat di depannya itu.
Dengan terpaksa Reina bangkit dan menuju sepeda yang sedari tadi diam dalam kesunyian. Ia sangat malas meninggalkan tempat itu, tapi baginya kecemasan umi adalah hal yang tak pernah ingin ia timbulkan.
Mungkin esok aku akan ke sini lagi, batinnya.
***
Sunyi, lagi dan lagi ia terbangun. Pukul 03.00 WIB.Waktu yang menurutnya sangat bermakna. Ya, waktu yang mengingatkannya akan mimpi itu. Mimpi yang seringkali menguras air matanya. Mimpi yang seakan-akan membuat waktu hidupnya habis. Dengan tubuh yang basah oleh keringat, ia bangkit mengambil air wudhu. Ya, dengan siapa lagi ia akan mengadu jika bukan dengan-Nya? Ia sungkurkan raganya yang penuh akan dosa, menangis, memohon ampunan atas maksiatnya selama ini. Dalam sujudnya, tergambar jelas kehidupan masa lalu yang sangat menyesakkan. Kehidupan Reina yang dungu, kehidupan Reina yang tak mengenal arti Tuhan, kehidupan seorang Reina yang tak pernah menyebut ayat- ayat Al- Qur’an.
***
“Rein, nggak ikut ngaji?” tanya Aisya yang melihat Reina masih berkutat dengan handphone dia.
“Nggak ah, males,” jawab gadis itu singkat. Tanpa mengalihkan pandang dari benda persegi panjang dalam genggamnya.
“Beneran nih?” ulang Aisya.
“Apaan sih. Tinggal kalau mau ngaji ya ngaji aja, nggak lihat apa aku lagi sibuk,” sungut Reina merasa terganggu.
Aisya hanya bisa tersenyum maklum, ia tahu Reina gadis yang baik. Namun ia juga tahu ketiadaan ayahnya membuat gadis itu seakan belum mampu menerima. Ia seolah marah pada Tuhan, yang menurut Reina tak memberikan keadilan. Peristiwa nahas yang merenggut nyawa sosok laki-laki wibawa dalam hidupnya, membuat ia tak lagi mampu menjalani hidup seperti sedia kala. Malam itu, mobil yang dinaiki ayahnya tergelincir ke tebing yang amat curam. Tak terperikan bagaimana ia terkejut atas kabar di pagi hari tentang ketiadaan sang ayah. Ia yang selalu menunggu kepulangan ayahnya yang hanya satu kali dalam dua minggu, merasa sangat terpukul. Detik itu juga, ia hanya mampu menangis dan merutuki ketidakadilan Tuhan atas nasib hidupnya.
***
“Reina nggak ingin ngaji?” tanya perempuan terkasih Reina itu dengan lembut.
“Buat apa, Bu.Toh dengan Reina ngaji, ayah nggak akan kembali,” ujar Reina dengan ketus.
Hafidza, sang ibu bahkan terkejut mendengar penuturan anak semata wayang yang ia sayangi itu.
“Rein, ayah memang nggak akan kembali, tapi setidaknya ayah akan tenang di sana,” tutur Bu Hafidza.
“Udahlah, Bu. Reina capek. Reina mau tidur,” sungut Reina memasuki kamar.
“Aku tahu Bu, dengan berdo’a mungkin ayah akan lebih tenang. Tapi aku lelah. Lelah atas nasib yang tak adil ini,” batin Reina. Ia tak lagi tahu harus kemana menumpahkan seluruh rontaan batinnya. Hanya air matalah yang mampu meluruhkan segala rasa lelah dan luka yang semakin hari kian menganga. Luka yang terbentuk sejak kematian ayahnya.
Air mata itu masih terus menetes di kedua pipi Reina, mengalir dengan deras, mengguyur luka di hatinya. Di setiap penghujung percakapan bersama sang ibu, ia memilih menghindar karena tak ingin menambah rasa sedih perempuan itu. Ia tahu, tanpa berkatapun, ibunya pasti sedih melihat ia yang belum mampu menerima kepergian ayahnya.
“Pulanglah,” ujar sebuah suara yang tak ia kenali.
“Siapa? Dimana aku?” tanya Reina.
“Pulanglah,” ujar suara itu lagi.
“Siapa? Siapa kamu?” teriak Reina.
“Irji’ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah.”
Sebuah suara merdu terdengar dari samping kanannya. Sesosok perempuan tengah membaca kitab suci yang telah lama tak ia sentuh. Suara itu, entah kenapa menggetarkan hatinya, melumpuhkan seluruh anggota geraknya. Reina, seorang gadis yang telah lupa akan Tuhannya, kini tergugu. Perempuan itu berhenti membaca, ia menoleh pada Reina, wajah yang penuh akan cahaya itu tersenyum lembut, bibir yang melengkungkan sebuah senyum itu kembali berucap.
“Pulanglah, pulanglah kepada Tuhan mu, Reina. Ia tak pernah membebankan sesuatu di luar batas kemampuan makhluk-Nya. Pulanglah, pulanglah sebelum ia tutup pintu-Nya untukmu. Pulanglah Reina,” ujar sosok perempuan itu.
Reina hanya bisa menangis, ia tak mampu berdiri. Seluruh tubuhnya seperti hilang tenaga. Ia seakan telah mati. Tak sadar, sosok tersebut mendekatinya.
“Aku titipkan tasbih ini padamu, ingatlah, sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar,” tutur perempuan itu sambil mengecup rambutnya.
Reina terbangun, ia baru sadar bahwa kejadian tadi hanyalah mimpi. Ia hendak mengusap pipinya yang terasa basah. Tasbih, ya tasbih dari wanita itu kini tergenggam erat di kedua tangannya. Mimpikah? Atau memang ini semua nyata. Ia ingat begitu jelas semua mimpinya. Terasa begitu nyata, sangat nyata. Apa sebenarnya yang sedang ia alami? Siap wanita itu? Begitu banyak pertanyaan yang bergumul dalam otaknya. Dengan berlahan ia berusaha duduk, entahlah, tubuhnya juga terasa lelah. Ia menengok jam yang bertengger manis di samping tempat tidur. 03.00 WIB. Hatinya bergetar, apakah kematianku telah dekat? Apakah mimpi tadi pertanda dari Tuhan? Apakah ia juga akan meningalkan dunia ini sebagaimana ayahnya? Baru kali ini sejak kematian ayahnya ia mengingat Tuhan. Ia tidak tahu mengapa kini ia bergerak menuju kamar mandi. Ia hanya ingin bersujud, kembali ke pelukan Tuhan, menumpahkan seluruh rasa yang telah terpendam sekian lama.
***
“Allah, di malam ini izinkan aku menumpahkan segalanya pada-Mu, mengeluarkan segala rasa yang terpendam dalam kalbuku. Izinkan aku sejenak memakimu, izinkan diriku memohon ampun atas semua ketidakrelaanku. Terimalah kembali aku dengan ridho-Mu. Terimalah aku dalam rengkuh rahmat-Mu, terimalah aku dengan cinta yang menguatkan langkah hidup semenjak kepergian ayahku. Ya Allah, lihatlah makhluk-Mu yang hina ini. Lihatlah dengan penuh kasih-Mu. Aku kembali menuju-Mu, aku kembali membawa jasad yang Engkau amanahkan padaku, aku kembali dalam keadaan kotor, maka bersihkanlah aku, aku kembali dengan kebodohan ego manusia, maka berikanlah kecerdasan untuk menghilangkannya. Ya Allah, kupasrahkan rinduku ini pada-Mu,” isak Reina di tengah kesunyian malam.
Reina tak sadar, sepasang mata tengah mengawasinya, mengeluarkan tangis bahagia yang tak pernah mampu dilukiskan. Sepasang mata milik sang ibu tercinta. Ia berharap, pemandangan yang ia lihat malam ini, akan selalu bisa terlihat di malam selanjutnya.
Sungguh, baru kali ini Reina merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia heran, kemana rasa sumpek yang biasa mengikutinya. Kemana rasa lelah yang kerap menyergapnya. Kemana rasa hampa yang sering menyapanya. Semua rasa itu tiba-tiba menguap begitu saja. Hilang tanpa diketahuinya. Kini, ia tengah memandang tasbih putih di tangan. Indah sekali. Tasbih itu seakan memancarkan sinar yang menyilaukan, melesap ke relung hati. Memantapkan hijrahnya yang ia niatkan dengan sepenuh hati. Disaksikan sajadah hijau yang tergelar dibawahnya serta Al- Qur’an yang sedang ia dekap. Bismillah, batin Reina memantapkan niat mulia itu.
***
Pagi ini, Reina merasakan keindahan yang belum pernah ia temui di pagi-pagi sebelumnya. Lega, itulah yang Reina rasakan. Ia buka daun jendela di kamarnya, mengizinkan seberkas sinar pagi menyapu kelembapan kamar yang telah memberi Reina kenyamanan. Kamar yamg menjadi saksi kemantapan niat Reina untuk berhijrah. Saksi bisu keistiqomahan yang akan selalu Reina usahakan mulai detik sekarang. Embun pagi yang menyejukkan menguar memenuhi rongga hidung mungil Reina, semilir angin pagi dengan jahilnya memainkan ujung jilbab biru muda yang kini tersemat apik di wajah ayu Reina Jauhar Putri. Subhanallah, walhamdulillah, Allahu Akbar, batin Reina mengumandangkan kekaguman pada Sang Maha Indah. Reina tahu, mulai detik ini jalan hidupnya akan penuh dengan kejutan yang cukupmenguras perasaan.
“Reina?” seru Aisya yang terkejut akan kedatangan gadis itu.
Sudah ia duga, sahabat yang setia berdiri kokoh di sampingmya ini pasti akan terkejut atas keputusan yang ia pilih. Lihatlah mata bulat itu, ingin sekali ia mencubit bulu yang bertengger diatasnya. Mata bulat yang biasanya terlihat kalem, kini membelalak lebar meninggalkan kesan imut.
“Hati-hati Aisy, itu mata kasian mau keluar,” ujar Reina kalem disusul jerit karena tangan Aisya telah mencubit pinggangnya.
“Masya Allah Reina, barakallah,” jerit Aisya dengan penuh senyum bahagia, memeluk tubuh gadis itu.
Bagaimana Aisya tidak bahagia, ia begitu merindukan momen ini. Momen dimana ia akan melihat kecantikan Aisya luar dalam. Kecantikan jasmani yang terbalut akan cahaya Islam. Tak dapat Aisya sembunyikan lagi tangis bahagia untuk sahabatnya itu.
“Udah Aisy, ibu guru udah datang tuh,” ujar Reina.
“Kamu harus cerita pokoknya, bagaimana bisa kamu berubah seperti ini,” tuntut Aisya sembari menghapus bekas air mata di kedua pipinya.
Reina hanya tersenyum, ia ragu Aisya akan percaya akan ceritanya.
***
“Semua emang kayak mimpi, tapi yang aku bingungkan kenapa tasbih ini benar-benar ada di tanganku Aisy?” tanya Reina menutup akhir cerita tentang mimpi yang telah mengubah jalur hidupnya.
“Allah telah mengaturnya untukmu, tak ada yang tak mungkin bagi-Nya, insya Allah itu adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah padamu,” ujar Aisya.
“Amin.”
“Allah, jika ini memang jalan yang telah kau tunjukkan untukku bantulah aku untuk selalu istiqomah dijalan-Mu,” rapal batin Reina.
Tasbih putih itu masih ia pegang, tasbih yang mengantarkannya berhijrah, memupuk harap agar selalu istiqomah. Bersamamu tasbih putih, aku bersujud mengadu pada-Nya. Reina jalani hari-harinya dengan penuh perjuangan, memang dari keluarga dan kawannya tak ada rintangan. Tapi, cobaan terbesar malah berasal dari dirinya, terkadang ia tak mampu menahan kemalasan untuk mengistiqomahkan niat mulianya. Syukur, Aisya selalu membantu Reina dikala kemalasan itu menyapa. Hijrah yang ia lakoni membawa dampak besar bagi hidupnya, Reina yang dulu sering merasakan kekosongan hati, kini berganti dengan kedamaian. Kesangsiannya atas takdir Tuhan, entah menguap kemana. Semua telah tergantikan keikhlasan. Menikmati kehidupan yang entah kini terasa lebih ringan. Egonya yang dulu tak beraturan, kini mampu ia kendalikan.
***
Satu tahu sudah sejak tasbih itu menemani harinya. Tasbih yang selalu membuat Reina merasa beruntung. Mendapatkan kesempatan kedua. Ya, baginya kesempatan ini adalah kesempatan kedua, dimana belum tentu jika ia melewatkan akan datang sebuah kesempatan yang serupa.
Mata lentiknya kini ia pejamkan, mencoba memasukkan udara segar di taman sekolahmya. Tak sengaja, ketika mata itu terbuka, sesosok siswa baru tertangkap netranya. Reina tak asing akan wajah itu. Wajah yang membuatnya harus teringat akan kejadian di hari pertama ia memasuki gerbang sekolah ini. Wajah yang menggoreskan kerinduan akan tawanya.
“Apaan sih,” ujar Reina kesal, gara- gara ulah laki-laki di sampingnya itu.
“Sorry, sengaja,” jawab laki- laki itu dengan cuek.
Bukan main kesal Reina dengan laki- laki itu yang pada akhirnya ia ketahui bernama Fahri.
Fahri, laki-laki yang seumuran dengan Reina. Entah, kenapa selalu menjahilinya. Tak seharipun Fahri membiarkan Reina tenang. Namun, tiba- tiba saja sebulan setelah penerimaan siswa baru, Fahri tak pernah terlihat lagi. Reina dengar, Fahri mengikuti ayahnya yang di pindah tugaskan ke kota seberang. Sejak itu, Reina merasa sedikit kesepian.
Dan kini, terlihat jelas di pelupuk matanya seseorang dengan wajah yang sama lewat di depan kelas menuju kelas Reina. Wajah yang sama dengan Fahri, namun dengan aura yang berbeda. Tak menunggu lama, Reina pun menuju kelasnya. Tepat ketika ia duduk, laki-laki itu masuk bersama dengan Pak Aziz.
“Anak-anak, kita kedatangan teman baru. Ia dulu pernah di sini tapi hanya sebulan, nah sekarang ayo perkenalkan dirimu, Nak,” ujar Pak Aziz pada laki-laki yang semakin aku yakini adalah Fahri.
“Assalamu’alakum,” ujarnya yang membuatku terkejut.
Bagaimana tidak, Fahri yang kukenal adalah Fahri yang jahil, tak mampu diam sekejap pun, kini yang ada di hadapanku adalah seseorang yang begitu kalem.
“Wa’alaikumsalam,” serempak kami menjawab salamnya.
“Perkenalkan, nama saya Muhammad Fahri,” ujar laki-laki di depan kelas itu.
Deg, Muhammad Fahri? Aku tidak tahu siapa nama lengkap Fahri yang dulu. Tapi pengakuan ia yang selanjutnya membuatku benar-benar tak menyangka.
“Mungkin kalian ada yang pernah mengenal saya, seperti yang dikatakan Pak Aziz. Saya pernah bersekolah di sini namun hanya satu bulan, karena ayah saya dipindah tugaskan ke kota lain. Terima kasih. Sekian dari saya. Wassalamu’alaikum warahmatullah,” ujar Fahri menutup sesi perkenalannya.
“Wa’alaikumsalam, baik Fahri, karena Aisya izin hari ini, sementara kamu duduk di sebelah Reina,” ujar Pak Aziz yang seketika membuatku ingin kabur.
“Baik, Pak,” jawab Fahri sembari berjalan menuju meja Reina.
“Permisi,” ucapnya halus.
“Silakan,” jawab Reina kikuk.
“Udah lama, ya? Kamu Reina Jauhar Putri kan?” ujarnya mengagetkan Reina.
Reina hanya memandang tidak percaya atas apa yang baru ia lihat dan dengar. Astaghfirullah, Reina benar- benar tak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran hari ini. Bel tanda pelajaran usai pun berdering, setelah Pak Aziz meninggalkan ruangan, Reina memburu Fahri dengan pertanyaan.
“Apa kamu Fahri yang dulu selalu mengusiliku?” tanya Reina.
“Upss, maaf,” sambung Reina merasa tak sopan.
Fahri tersenyum mendengar pertanyaan Reina itu.
“Ah, maaf atas kelakuanku dulu. Iya, aku Fahri yang itu. Apa kabar?” tanya Fahri.
“Masya Allah, aku sempat pangling. Alhamdulillah kabarku baik, kamu sendiri?”
Sungguh Reina merasa terkejut sekaligus penasaran bagaimana ia dapat berubah sedemikian rupa.
Akhirnya mereka pun bercerita bagaimana kehidupan mereka selama ini, dan Reina kagum atas apa yang telah Fahri lalui. Dari mulai ia sempat menolak untuk masuk ke SMA Islam di kota tempat ayahnya bekerja, sampai akhirnya keputusan sang ayah untuk membawanya kembali ke kota ini satu tahun kemudian. Entah, Reina tak tahu apa yang muncul di dadanya. Hanya saja, dalam hati ia berdo’a, semoga perubahan Fahri membantunya dalam proses perubahan hidup Reina. Ada yang berdesir di dadanya tatkala ia menatap wajah Fahri. Cepat-cepat Reina menundukkan wajahnya. Ia tahu, ia tak boleh seperti dulu lagi.
“Fahri, maaf aku duluan ya,” pamit Reina.
“Oh, iya. Hati-hati di jalan.”
Fahri hanya dapat memandang punggung Reina yang menjauh. Ia belum sanggup mengatakan alasan sesungguhnya ia kembali ke kota ini. Biarkan waktu yang menyampaikan. Ia hanya ingin memantaskan dirinya terlebih dulu. Semoga apa yang ia harapkan tak jauh berbeda dengan yang akan Allah takdirkan.
***
Hari ini, Reina berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia ingin menunaikan dhuhanya di mushola sekolah. Entah, tiba-tiba saja keinginan itu muncul dalam hatinya. Belum sampai ia di pintu mushola, terdengar lantunan surah Al-Waqi’ah dari shaf putra. Dengan penasaran, Reina mengintip sedikit satir yang menghalangi shaf putra dengan putri. Sejenak, Reina tertegun. Tak percaya atas apa yang ditangkap netranya. Lihatlah, di depan sana sesosok Fahri terpekur meresapi lantunan demi lantunan surat Al-Waqi’ah. Bahunya terguncang, hingga suara yang semula lantang kini melemah, serak. Lihatlah, seorang pemuda bernama Fahri kini menangis. Entah, Reina tak tahu apa yang ia tangisi. Hanya saja, Reina menjadi teringat atas dirinya satu tahun silam. Dimana untuk pertama kalinya, Reina menangis di atas selembar sajadah, memutarkan tasbih, menyesali segala kebodohannya. Persis seperti tangisan yang kini ia dengar.
Reina mengambil air wudhu, menyimpuhkan tubuhnya, mengadu pada Yang Maha Kuasa. Semoga ia selalu mampu istiqomah atas apa yang telah dipilihnya. Tak lupa, sebaris nama yang sosoknya tengah bersujud di balik satir ia selipkan. Memohon agar hijrah yang mereka pilih, selalu terjaga istiqomahnya. Tanpa keduanya sadari, sebuah takdir kehidupan terbentuk, terjalin menjadi satu. Sebagaimana dua mutiara yang bersimpuh di atas sajadah, mutiara yang cahayanya melesat ke angkasa, berbaur menjadi satu. Mengikat sebuah kisah dua insan yang tengah menempa layaknya di kawah candradimuka.
I’anatush Shofwana – Anggota Magang